A. Kebenaran Konsisten
Konsisten merupakan
pengaturan secara rapi kenyataan dan gagasan, fakta, dan ide menjadi suatu
untaian yang logis sehingga mudah memahami pesan yang dihubungkannya.
Teori kebenaran Konsisten ini digunakan sebagai sebuah
pesan / penarik kepada umum supaya perhatiannya tertuju pada satu titik atau
dengar arti lain, teori kebenaran konsisten merupakan teori kebenaran yang
didasarkan kepada kriteria koheren atau konsistensi. Suatu pernyataan
disebut benar bila sesuai dengan jaringan komprehensif dari
pernyataan-pernyataan yang berhubungan secara logis. Pernyataan-pernyataan ini
mengikuti atau membawa kepada pernyataan yang lain.
Seorang sarjana Barat A.C Ewing (1951:62) menulis
tentang teori koherensi, ia mengatakan bahwa koherensi yang sempurna merupakan
suatu ideal yang tak dapat dicapai, akan tetapi pendapat-pendapat dapat
dipertimbangkan menurut jaraknya dari ideal tersebut. Sebagaimana pendekatan
dalam aritmatik, dimana pernyataan-pernyataan terjalin sangat teratur sehingga
tiap pernyataan timbul dengan sendirinya dari pernyataan tanpa berkontradiksi
dengan pernyataan-pernyataan lainnya. Jika kita menganggap bahwa 2+2=5, maka
tanpa melakukan kesalahan lebih lanjut, dapat ditarik kesimpulan yang menyalahi
tiap kebenaran aritmatik tentang angka apa saja.
Teori ini punya banyak kelemahan dan mulai
ditinggalkan. Misalnya, astrologi mempunyai sistem yang sangat koheren, tetapi
kita tidak menganggap astrologi benar. Kebenaran tidak hanya terbentuk oleh
hubungan antara fakta atau realitas saja, tetapi juga hubungan antara
pernyataan-pernyataan itu sendiri. Dengan kata lain, suatu pernyataan adalah
benar apabila konsisten dengan pernyataan-pernyataan yang terlebih dahulu kita
terima dan kita ketahui kebenarannya.
Dua masalah yang didapatkan dari teori konsisten adalah:
a. Pernyataan
yang tidak koheren (melekat satu sama lain) secara otomatis tidak tergolong
kepada suatu kebenaran, namun pernyataan yang koheren juga tidak otomatis
tergolong kepada suatu kebenaran. Misalnya saja diantara pernyataan “anakku
mengacak-acak pekerjaanku” dan “anjingku mengacak-acak pekerjaanku” adalah
sesuatu yang sulit untuk diputuskan mana yang merupakan kebenaran, jika hanya
dipertimbangkan dari teori koherensi saja. Misalnya lagi, seseorang yang
berkata, “ Sundel Bolong telah mengacak-acak pekerjaan saya!”, akan dianggap
salah oleh saya karena tidak konsisten dengan kepercayaan saya.
b. Sama halnya
dalam mengecek apakah setiap pernyataan berhubungan dengan realitasnya, kita
juga tidak akan mampu mengecek apakah ada koherensi diantara semua pernyataan
yang benar.
Dua masalah ini lahir karena adanya pertentangan keyakinan, moral maupun
ketidak sanggupan untuk mengecek sebuah pernyataan yang sudah dilontarkan
dengan keadaan lapangan atau hal yang dialami sehingga tingkat konsistensinya
rendah bahkan berat untuk dipertanggungjawabkan.
B. Kebenaran Koresponden
Teori Korespondensi (The Correspondence Theory
of Thruth) adalah teori yang berpandangan bahwa pernyataan-pernyataan
adalah benar jika berkorespondensi terhadap fakta atau pernyataan yang ada di
alam atau objek yang dituju pernyataan tersebut. Kebenaran atau suatu
keadaan dikatakan benar jika ada kesesuaian antara arti yang dimaksud oleh
suatu pendapat dengan fakta. Kebenaran ini seutuhya berpangkal dari
keadaan/kenyataan alam yang ada yang dapat dibuktikan secara inderawi oleh
responden.
Teori kebenaran korespondensi adalah teori kebenaran
yang paling awal, sehingga dapat digolongkan ke dalam teori kebenaran
tradisional karena sejak awal (sebelum abad Modern) mensyaratkan kebenaran
pengetahuan harus sesuai dengan kenyataan yang diketahuinya. Hal ini dapat
diartikan bahwa teori yang diterapkan atau dikemukakan tidak boleh
bersimpangan/bersebrangan dengan kenyataan yang menjadi objek.
Dalam teori kebenaran korespondensi tidak berlaku
pada objek/bidang non-empiris atau objek yang tidak dapat diinderai. Kebenaran
dalam ilmu adalah kebenaran yang sifatnya objektif, ia harus didukung oleh
fakta-fakta yang berupa kenyataan dalam pembentukan objektivanya. Kebenaran
yang benar-benar lepas dari kenyataan subjek.
Dalam teori ini terdapat tiga kesukaran dalam menentukan kebenaran yang
disebabkan karena :
a. Teori
korespondensi memberikan gambaran yang menyesatkan dan yang terlalu sederhana
mengenai bagaimana kita menentukan suatu kebenaran atau kekeliruan dari suatu
pernyataan. Bahkan seseorang dapat menolak pernyataan sebagai sesuatu yang
benar didasarkan dari suatu latar belakang kepercayaannya masing-masing.
b. Teori
korespondensi bekerja dengan idea, “bahwa dalam mengukur suatu kebenaran kita
harus melihat setiap pernyataan satu-per-satu, apakah pernyataan tersebut
berhubungan dengan realitasnya atau tidak. ” Lalu bagaimana jika kita tidak
mengetahui realitasnya? Bagaimanapun hal itu sulit untuk dilakukan.
c. Kelemahan
teori kebenaran korespondensi ialah munculnya kekhilafan karena kurang
cermatnya penginderaan, atau indera tidak normal lagi sehingga apa yang
dijadikan sebagai sebuah kebenaran tidak sesuai dengan apa yang ada di alam.
Sebuah ketelitian dan kesigapan dalam menentukan sebuah kebenaran dalam
menentukan teori kebenaran koresponensi sangat diutamakan sebab untuk
menghindari kesalahan yang terjadi atas tiga hal tersebut. Maka faktor inderawi
yang menjadi alat untuk mengungkap kenyataan alam harus dapat menyatakan yang
sebenarnya, mengetahui/menguasai realitas yang ada dan cermat.
C. Kebenaran Pragmatis
Teori
pragmatisme tentang kebenaran, the pragmatic [pramatist] theory
of truth. Kata Pragmatisme berasal dari bahasa Yunani yaitu
pragma, artinya yang dikerjakan, yang dapat dilaksanakan, dilakukan,
tindakan atau perbuatan. Falsafah ini dikembangan oleh seorang bernama William
James di Amerika Serikat.
Menurut
filsafat ini dinyatakan bahwa sesuatu ucapan, hukum, atau sebuah teori
semata-mata bergantung kepada asas manfaat. Sesuatu dianggap benar jika
mendatangkan manfaat. Suatu kebenaran atau suatu pernyataan diukur dengan
kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan
manusia.
Pragmatisme
menantang segala otoritanianisme, intelektualisme dan rasionalisme. Bagi mereka
ujian kebenaran adalah manfaat (utility), kemungkinan dikerjakan (workability)
atau akibat yang memuaskan sehingga dapat dikatakan bahwa pragmatisme adalah
suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar ialah apa yang membuktikan
dirinya sebagai benar dengan perantaraan akibat-akibatnya yang bermanfaat
secara praktis.
Teori ini
pada dasarnya mengatakan bahwa suatu proposisi benar dilihat dari realisasi
proposisi itu. Jadi, benar-tidaknya tergantung pada konsekuensi, kebenaran
suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat
fungsional dalam kehidupan praktis, sepanjang proposisi itu berlaku atau
memuaskan.
Satu-satunya
yang dijadikan acuan bagi kaum pragmatis ini untuk menyebut sesuatu sebagai
kebenaran ialah jika sesuatu itu bermanfaat atau memuaskan. Apa yang diartikan
dengan benar adalah yang berguna (useful) dan yang diartikan salah
adalah yang tidak berguna (useless). Karena istilah “berguna” atau
“fungsional” itu sendiri masih samar-samar, teori ini tidak mengakui adanya
kebenaran yang tetap atau mutlak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar