Pemikiran dan ketertarikan
Bertrand Russell untuk menjadikan bahasa filosofis sejelas dan seakurat mungkin
adalah semata karena keinginannya untuk memastikan bahwa bahasa yang
dipergunakan berfilsafat sesuai dengan fakta yang dialami manusia. Karena kepastian
(exactness) merupakan bagian inti dari cara berfikir matematis di dalam kajian
matematika yang merupakan cabang dari filsafat logika, maka berfikir secara
ketat dengan pengungkapan bahasa yang sesuai dengan fakta yang dialami manusia
disebut sebagai berpikir logis (Stumpf, 1987:273).
Komunikasi yang logis akan
berpeluang menjadikan pemaknaan pesan yang efektif. Logika di dalam ekspresi
komunikatif, namun demikian, lebih berkenaan dengan isi pesan komunikasi.
Komunikasi itu sendiri, mencakup dimensi isi dan relasi sekaligus. Dimenasi relasi
di dalam komunikasi lebih berhubungan dengan segi-segi etis dan estetis,
bagaimana cara pesan dikemas dan disampaikan. Etika dalam konteks komunikasi
dimaksudkan sebagai usaha manusia mempergunakan kapasitas kognitifnya untuk
memperoleh pertimbangan tentang kepatutan situasional (Habermas, edited by
Cooke, 1998: 429).
Memahami pengalaman kritik
realitas sosial manusia haruslah mencakup dan menjangkau latar belakang alam
kehidupan tersebut sambil pada saat bersamaan melalui refleksi transgresif
masuk ke latar depannya.
Pengalaman suatu kehidupan dan
konteks pragmatik dari penjelasan tentangnya (yang dialami manusia:penulis)
terbentuk atau kita peroleh melalui keterlibatan kita dengan sesuatu itu dan
kejadian-kejadian (terkait:penulis); kehidupan kesetiakawanan dan makna dalam
konteks historisnya kita peroleh melalui keterlibatan interaktif dengan
orang-orang yang kita pergauli, …
Secara ontogenetik , dunia
empirik yang kita berurusan dengan keadaan luarnya secara teknis-praktis hanya
berjarak sangat tipis dari kehidupan di mana kita berurusan dengan orang lain
di dalam masyarakat secara moral. Akhirnya, pengalaman-pengalaman dengan
keadaan bathin kita, dengan badan kita, dengan kebutuhan kita, dan dengan
perasaan kita, merupakan sesuatu yang tidak secara langsung (kita
alami:penulis); Kesemua itu memantul pada pengalaman kehidupan eksternal kita.
Manakala pengalaman-pengalaman batin kita kemudian memperoleh kebebasan semacam
pengalaman estetik, maka karya seni otonom yang tercipta melibatkan peranan
objek (benda-benda) yang telah membuka mata kita, yang mendorong atau
menimbulkan cara baru melihat sesuatu, sikap baru terhadap sesuatu, dan moda
perilaku baru terhadap sesuatu (Habermas, edited by Cooke, 1998:245-246).
Habermas dengan paparannya tersebut hendak menyatakan
bahwa pengalaman estetik bukanlah hasil dari bentuk-bentuk tindakan kehidupan
sehari-hari yang didasarkan pada kecakapan kognitif-instrumental dan
gagasan-gagasan moral. Hal ini dikarenakan kita tumbuh dan berkembang di dalam
proses pembelajaran kehidupan bathin, namun pada saat bersamaan kita terikat
dengan fungsi-fungsi bahasa sebagai pembentuk dan penguak dunia kehidupan.
Manakala pengalaman itu dapat diberualngkan untuk menghasilkan kesan
menyenangkan, memuaskan, aman, nyaman, dan bahagia yang mampu menimbulkan efek
terharu dan terpesona, maka ia telah menjadi sebuah pengalaman estetika (AAM
Djelantik, 1999:2). Kesan mengharukan dan mempesona ini merupakan aspek pentig
dari kemasan pesan di dalam sebuah transaksi komunikatif. Semakin mempesona
kemasan pesan, semakin menarik lawan komunikasi kita.
1. Logika
Konstruktif
Logika di dalam konteks konstruksi realitas dalam bagian
ini dimaksudkan untuk menunjuk segala langkah prosesual konstruksional yang
melibatkan penalaran logis untuk tujuan tercapainya kesesuaian, ketepatan dan
keakuratan pengkonstruksian realitas. Konstruksi realitas yang logis akan
tercermin pada tidak adanya kesenjangan apalagi perbedaan antara konstruksi
realitas dengan realitas yang diwakilinya (Sumarsono, 2004:9). Oleh karena
penggunaan logika dimaksudkan untuk mencapai kepastian (exactness) dari setiap
simpulan pemikiran dan penalarannya, maka konstruksi yang diawali dengan
penalaran seperti ini akan dapat dikategorikan sebagai konstruksi yang logis.
Permasalahannya kemudian adalah bahwa setiap moda
berpikir mempunyai rumusan logikanya masing-masing. Sebagian filosof misalnya
lebih menyukai cara-cara berpikir kontingensial, sebagian lainnya mungkin
memilih mempergunakan model penalaran sentensial, elementer, dan bahakan silogistis.
Kesemua moda penalaran di dalam pemikiran mereka itu pun dengan demikian akan
memiliki model dan kerangka logikanya masing-masing. Hal ini sesuai dengan
pandangan kritis tentang realitas bahwa, manusia hanya mampu mengkonstruksi
realitas dari sudut pandangnya masing-masing. Hal ini misalnya dikemukakan
Lyotard bahwa mata manusia tidak sanggup menguasai dunia, dan pandangan mata
manusia selalu bersifat parsial (Cavallaro, terjemahan Laily Rahmawati,
2001:76).
2. Logika Kontingensial
Makna yang logis dari suatu konstruksi realitas sosial
harus secara internal menyatu di dalam realitas terkonstruksi itu sendiri.
Integrasi logika ini diakui (kebenarannya:penulis) bukan
saja pada interrelasi elemen-elemen kultural yang tertentu saja yang kita temui
di dalam bentuk proposisi verbal, seperti pernyataan tertulis, akan tetapi
berlaku untuk elemen-elemen kultural nonverbal seperti halnya acara-acara dan
musik, dan juga bahkan berlaku untuk relasi antar elemen kultural dari
kelas-kelas yang berbeda-beda seperti sebuah organisasi keluarga spesifik,
sebuah gaya budaya/kebudayaan, type kepribadian spesifik, dan aturan dan
ketentuan hukum legal tertentu (Barnes, 1948:896-897).
Pitirim Alexandrovitch Sorokin dengan pernyataan ini
hendak menunjukkan bahwa, meski tidak seperti integrasi-kausal-fungsional di
dalam mana seluruh bagian fungsional dari setiap elemen konstruksi realitas
sosiokultural saling berpautan dan saling bergantung satu sama lain, tetapi
logika dan makna yang logis sebagai elemen konstruksi suatu realitas
sosiokultural harus melekat secara internal di dalam realitas yang secara
konstruktif diwakilinya itu. Pernyataan ini megandung dan mengarah pada
pengertian bahwa, logika yang kokoh adalah prasyarat kontingensial untuk
tercapainya penciptaan makna yang tepat dan akurat. Logika yang kokoh tidak
terpisahkan oleh kesenjangan antaranya dengan realitas yang ditunjuk untuk
dimaknai dan dengan penanda pemaknaan realitas yang dimaksud. Saling
ketergantungan adanya antara logika, kemasan logika (bahasa sebagai sistem
tanda), dan realitas yang sesungguhnya ada menjadi bersifat kontingensial.
Keberfungian elemen kontingensial yang satu mensyaratkan keberadaan dan
kehadiran elemen kontingensial yang lain.
Contoh paling sederhana, di dalam budaya Indonesia
dikenal pernyataan “tidak akan ada asap kalau tidak ada api.” Pernyataan ini
menunjukkan bahwa realitas bernama asap itu hanya akan muncul jika kondisi
kontingensial (yang dipersyaratkan) yaitu api terlebih dahulu ada.
3. Logika Sentensial
Logika sentensial membatasi dirinya untuk membahas
kalimat-kalimat sederhana yang tertentu, yang tidak terurai secara keselurhan,
menggabungkannya dengan kalimat penghubung yang menjadikannya kalimat-kalmat
gabungan. Kalimat gabungan itu hanya dipergunakan sebagai alasan, yang
validitas dan invaliditasnya sepenuhnya bergantung pada bentuk atau cara
bagaimana kalimat-kalimat sederhana itu digabungkan.
Contoh logika sentensial paling sederhana adalah, jika
kalmatnya adalah :
• Bapak pergi ke Jakarta atau ke Surabaya
• Bapak tidak pergi ke Jakarta
• Simpulan yang benar adalah : Bapak pergi ke Surabaya.
Kalimat-kalimat penghubung pada penggabungan dua kalimat
di dalam logika sentensial adalah: dan, atau, bukan, jika-maka, jika dan hanya
jika(Edwards, editor, 1972:14).
4. Logika Silogisme
Silogisme kategoris merupakan sebuah penafsiran atas satu
proposisi kategoris sebagai simpulan atas dua proposisi yang lainnya yang
merupakan premis-premis. Pada masing-masing premis memiliki satu istilah yang
juga ada pada proposisi kesimpulan dan ada pada proposisi premis lainnya.
Contoh paling sederhana:
• Setiap binatang akan mati
(Premis major)
• Semua manusia adalah binatang
(Premis minor)
• Oleh karenanya, semua manusia
akan mati (Simpulan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar