Powered By Blogger

Kamis, 31 Oktober 2013

PENDAPAT 5 FILSAFAT TENTANG 5 KOMPONEN PENDIDIKAN

1.      Idealisme
a.       Pendidik
Dalam sistem pengajaran yang menganut aliran idealisme guru berfungsi sebagai personifikasi dari kenyataan anak didik, seorang spesialis dalam suatu ilmu pengetahuan dari siswa, menguasai teknik mengajar secara baik, pribadi terbaik, sehingga disegani oleh para murid, teman dari para muridnya, pribadi yang mampu membangkitkan gairah murid untuk belajar, idola para siswa, insan kamil yang bisa menjadi teladan para siswanya, pribadi yang komunikatif, mampu mengapresiasi terhadap subjek yang menjadi bahan ajar yang diajarkannya, guru pun harus ikut belajar sebagaimana para siswa belajar, harus merasa bahagia jika anak muridnya berhasil, bersikap demokratis dan mengembangkan demokrasi, serta harus mampu belajar, bagaimana pun keadaannya.
b.      Peserta Didik
Siswa yang menganut paham idealisme senantiasa memperlihatkan bahwa apa yang mereka lakukan merupakan ekspresi dari keyakinannya, sebagai pusat utama pengalaman pribadinya sebagai makhluk spiritual. Tentu saja, model pemikiran filsafat idealisme ini dapat dengan mudah ditransfer ke dalam sistem pengajaran dalam kelas.
c.       Kurikulum
Kurikulum yang digunakan dalam pendidikan yang beraliran idealisme adalah pengembangan kemampuan berpikir dan penyiapan keterampilan bekerja melalui pendidikan praktis.
d.      Metode
Metode yang digunakan yaitu metode dialektik, syarat dengan pemikiran, perenungan, dialog dan lain-lain sehingga akan menjadi suasana proses belajar mengajar menjadi aktif.
e.       Hasil Akhir
Dari pendidikan idealisme hasil akhir bagi individual antara lain bertujuan agar peserta didik bisa menjadi kaya dan memiliki kehidupan yang bermakna, memiliki kepribadian yang harmonis dan penuh warna, hidup bahagia, mampu menahan berbagai tekanan hidup, dan pada akhirnya diharapkan mampu membantu individu lainnya untuk hidup lebih baik. Sedangkan hasil akhir pendidikan idealisme bagi kehidupan sosial adalah perlunya persaudaraan sesama manusia. Karena dalam spirit persaudaraan terkandung suatu pendekatan seseorang kepada yang lain.

2.      Realisme
a.       Pendidik
Dalam pendidikan realisme peran pendidik adalah menguasai pengetahuan, terampil dalam teknik mengajar dan dengan keras menuntut prestasi peserta didik. Peranan pendidik adalah menguasai pengetahuan, keterampilan teknik-teknik pendidikan dengan kewenangan untuk mencapai hasil pendidikan.
b.      Peserta didik
Dalam pendidikan realisme peran peserta didik adalah menguasai pengetahuan yang handal dan dapat dipercaya. Dalam hal disiplin, peraturan yang baik adalah esensial dalam belajar. Disiplin mental dan moral dibutuhkan untuk memperoleh hasil yang baik.
c.       Kurikulum
Kurikulum mencakup semua pengetahuan yang berguna berisi pengetahuan umum dan pengetahuan praktis. Kurikulum komprehensif yang berisi semua pengetahuan yang berguna dalam hidup dan tanggung jawab sosial. Kurikulum berisi unsur-unsur pendidikan umum untuk mengembangkan kemampuan berpikir dan pendidikan praktis untuk kepentingan bekerja.
d.      Metode
Metodenya harus logis dan psikologis. Metode pontiditioning (stimulus-respon) adalah metode pokok yang digunakan semua kegiatan belajar berdasarkan pengalaman baik langsung maupun tidak langsung. Metode mengajar hendaknya bersifat logis, bertahap, dan berurutan. Pembiasaan (pengkondisian) merupakan sebuah metode pokok yang dapat dipergunakan dengan baik untuk mencapai tujuan pendidikan.
e.       Hasil akhir
Hasil akhir pada pendidikan realisme adalah penyesuaian hidup dan tanggung jawab sosial. Tujuan program pendidikan terfokus agar peserta didik dapat menyesuaikan diri secara tepat dalam hidup. Disamping itu, peserta didik diharapkan dapat melaksanakan tanggung jawab sosial dalam hidup dan masyarakat.

3.      Tradisiolisme
a.       Pendidik
Guru hanya bertugas menolong membangkitkan potensi yang dimiliki anak didik agar menjadi aktif dan nyata, bukan membentuk atau memberikan kemampuan kepada anak didik. Tugas guru dalam konteks aliran ini tentu lebih pada pembimbing dari pada pemateri atau transfer pengetahuan.
b.      Peserta didik
Dalam pendidikan perenialisme peserta didik adalah subjek sekaligus inti dalam pelaksanaan pendidikan. Peserta didik dalam hal ini menyusun rancangan dimana ia belajar dengan prestasi-prestasi warisan budaya masa lalu. Tugasnya kemudian merealisasikan nilai-nilai yang diwarikan kepadanya dan jika memungkinkan meningkatkan dan menambah prestasi-prestasi itu melalui usaha sendiri.
c.       Kurikulum
Menurut aliran ini kurikulum bersifat subject centered, berpusat pada materi pelajaran. Materi pelajaran bersifat seragam, universal, dan abadi. Selain itu materi pelajaran harus berarah pada pembentukan rasionalitas manusia karena demikianlah hakikat manusia. Materi pelajaran memiliki status tertinggi dalam kurikulum pendidikan,
d.      Metode
Dalam aliran ini metode pendidikan yang digunakan adalah membaca dan diskusi, yaitu membaca dan mendiskusikan karya-karya yang tertuang dalam the greats books dalam rangka mendisiplinkan pikiran.
e.       Hasil Akhir
Dalam aliran perenialisme atau traditiolisme, hasil akhir pendidikan ini yaitu nilai-nilai kebenaran yang bersifat universal dan abadi. Oleh karena itu, hasil akhir pendidikan adalah peserta didik dapat menyiapkan dan menginternalisasikan nilai-nilai kebenaran yang abadi agar mencapai kebijakan dan kebaikan dalam hidup

4.      Pragmatisme
a.       Pendidik
Pedidik selalu melatih anak didiknya untuk mampu memecahkan problem-problem yang ada dalam kehidupan. Seorang pendidik mesti menggiring pemahaman kepada anak didiknya, bahwa belajar adalah suatu kebutuhan anak didik. Oleh karena itu, anak didik progresif mesti selalu mampu menghubungkan apa yang dipelajari dengan kehidupan nyata.
b.      Peserta didik
Bagi aliran ini inti proses pendidikan terdapat pada peserta didik, karena peserta didik dalam konsepnya adalah manusia yang memiliki potensi rasio dan intelektual yang akan berkembang melalui pengkondisian pendidikan. Peserta didik adalah manusia yang aktif, kreatif dan dinamis dalam menghadapi berbagai problem dan lingkungannya.
c.       Kurikulum
Kurikulim yang digunakan pada aliran ini adalah semacam laboratorium yang terlihat sebagai kegiatan eksperimentasi yang semua kegiatan terinci sedemikian rupa sampai kepada hal-hal yang terkecil, sehingga mencerminkan sebuah proses yang tidak terpisah. Kurikulum ini juga merupakan kegiatan-kegiatan belajar yang diminati oleh setiap peserta didik yang menjunjung tinggi sikap sosialitas, sehingga corak aktivitas pembelajaran yang ditonjolkan lebih pada kooperatif dan konpetisi.
d.      Metode
Metode yang digunakan pada pendidikan progresivisme atau aliran pragmatis yaitu problem solving dan berpusat pada anak, diantaranya metode belajar aktif, metode memonitor kegiatan belajar, dan metode penelitian ilmiah.
e.       Hasil akhir
Yang diharapkan pada aliran ini adalah melatih anak agar kelak dapat bekerja secara sistematis, mencintai kerja, dan bekerja dengan otak dan hati. Untuk mencapai hasil akhir tersebut pendidikan harusnya merupakan pengembangan sepenuhnya bakat dan minat setiap anak. Dengan asas ini, pendidikan bertujuan untuk memberikan pengalaman empiris kepada anak didik sehingga terbentuk pribadi yang selalu belajar dan berbuat.

5.      Eksistensialisme
a.       Pendidik
Pada aliran ini pendidik merupakan pengatur situasi, dimana proses belajar mengajar tidak ditumpahkan begitu saja namun ditawarkan agar hubungan antara guru dan siswa direalisasikan sebagai suatu dialog. Peran guru melindungi dan memelihara kebebasan akademik, dimana guru pada hari ini, besok lusa mungkin menjadi peserta didik.
b.      Peserta didik
Dalam pendidikan eksistensialisme peserta didik adalah disadari sebagai makhluk rasional dengan pilihan bebas dan tanggung jawab atas pilihan suatu komitmen terhadap pemenuhan tujuan pendidikan.
c.       Kurikulum
Kurikulum eksistensialis cenderung bersifat liberal, membawa manusia pada kebebasan. Oleh karena itu, di sekolah harus diajarkan pendidikan sosial untuk mengajarkan rasa hormat terhadap kebebasan, serta privasi masing-masing individu.
d.      Metode
Dalam metode ini tidak ada pemikiran yang mendalam, tetapi metode apapun yang digunakan harus merujuk pada cara untuk mencapai kebahagiaan.
e.       Hasil akhir
Hasil yang diharapkan pada aliran ini adalah dapat menjadi bekal pengalaman yang luas dan komprehensif dalam semua bentuk kehidupan.

LIMA FILSAFAT PENDIDIKAN (Idealisme, Realisme, Tradisionalisme, Pragmatisme, Eksistensialisme)

1. Filsafat Pendidikan Idealisme 
Filsafat idealisme memandang bahwa realitas akhir adalah roh, bukan materi, bukan fisik. Pengetahuan yang diperoleh melaui panca indera adalah tidak pasti dan tidak lengkap. Aliran ini memandang nilai adalah tetap dan tidak berubah, seperti apa yang dikatakan baik, benar, cantik, buruk secara fundamental tidak berubah dari generasi ke generasi.
Tokoh-tokoh dalam aliran ini adalah: Plato, Elea dan Hegel, Emanuael Kant, David Hume, Al Ghazali.
2. Filsafat Pendidikan Realisme 
  Realisme merupakan filsafat yang memandang realitas secara dualitis. Realisme berpendapat bahwa hakekat realitas ialah terdiri atas dunia fisik dan dunia ruhani. Realisme membagi realitas menjadi dua bagian, yaitu subjek yang menyadari dn mengetahui di satu pihak dan di pihak lainnya adalah adanya realita di luar manusia, yang dapat dijadikan objek pengetahuan manusia. 
    Beberapa tokoh yang beraliran realisme: Aristoteles, Johan Amos Comenius, Wiliam Mc Gucken, Francis Bacon, John Locke, Galileo, David Hume, John Stuart Mill.
3. Filsafat Pendidikan Tradisionalisme (Perenialisme)
     Tradisionalisme adalah ajaran yang mementingkan tradisi yang diterima dari generasi-generasi sebelumnya sebagai pegangan hidup. Tradisi dapat berasal dari praktek hidup yang sudah berjalan lama, ini disebut tradisi kultural. Dapat pula berasal dari keyakinan keagamaan yang berpangkal pada wahyu ini disebut tradisi keagamaan. Sebagai tradisi etis dapat dilihat dalam bahasa, seperti petuah, nasihat, pepatah, norma dan prinsip, dalam perilaku, seperti cara hidup, bergaul, bekerja, dan berbuat, serta dalam pandangan dan sikap hidup secara keseluruhan. Bentuk bahasa, perilaku, pandangan, dan sikap hidup merupakan tempat menyimpan nilai-nilai etis ,wahana pengungkapan, dan sarana mewujudkannya.
  Tokoh-tokoh : Ananda Coomaraswamy, Titus Burckhardt, Toshihiko Izutsu, Martin Lings, William Chittick, Sachiko Murata, Clinton Minnaar, Lord Northbourne, Philip Sherrard, John Holman, Armstrong, Joseph Campbell.
4. Filsafat Pendidikan Pragmatisme   (Progresivisme)
Pragmatisme adalah aliran filsafat yang mengajarkan bahwa yang benar adalah segala sesuatu yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan melihat kepada akibat-akibat atau hasilnya yang bermanfaat secara praktis. Dengan demikian, bukan kebenaran objektif dari pengetahuan yang penting melainkan bagaimana kegunaan praktis dari pengetahuan kepada individu-individu.
Dasar dari pragmatisme adalah logika pengamatan, di mana apa yang ditampilkan pada manusia dalam dunia nyata merupakan fakta-fakta individual, konkret, dan terpisah satu sama lain. Dunia ditampilkan apa adanya dan perbedaan diterima begitu saja. Representasi realitas yang muncul di pikiran manusia selalu bersifat pribadi dan bukan merupakan fakta-fakta umum. Idemenjadi benar ketika memiliki fungsi pelayanan dan kegunaan. Dengan demikian, filsafat pragmatisme tidak mau direpotkan dengan pertanyaan-pertanyaan seputar kebenaran, terlebih yang bersifat metafisik, sebagaimana yang dilakukan oleh kebanyakan filsafat Barat di dalam sejarah.
   Beberapa tokoh yang menganut filsafat ini adalah: Charles sandre Peirce, wiliam James, John Dewey, Heracleitos.
5. Filsafat Pendidikan Eksistensialisme 
  Filsafat ini memfokuskan pada pengalaman-pengalaman individu. Secara umum, eksistensialisme menekankn pilihan kreatif, subjektifitas pengalaman manusia dan tindakan kongkrit dari keberadaan manusia atas setiap skema rasional untuk hakekat manusia atau realitas. 

     Beberapa tokoh dalam aliran ini : Jean Paul Satre, Soren Kierkegaard, Martin Buber, Martin Heidegger, Karl Jasper, Gabril Marcel, Paul Tillich.

Kamis, 17 Oktober 2013

LOGIKA

Pemikiran dan ketertarikan Bertrand Russell untuk menjadikan bahasa filosofis sejelas dan seakurat mungkin adalah semata karena keinginannya untuk memastikan bahwa bahasa yang dipergunakan berfilsafat sesuai dengan fakta yang dialami manusia. Karena kepastian (exactness) merupakan bagian inti dari cara berfikir matematis di dalam kajian matematika yang merupakan cabang dari filsafat logika, maka berfikir secara ketat dengan pengungkapan bahasa yang sesuai dengan fakta yang dialami manusia disebut sebagai berpikir logis (Stumpf, 1987:273).
Komunikasi yang logis akan berpeluang menjadikan pemaknaan pesan yang efektif. Logika di dalam ekspresi komunikatif, namun demikian, lebih berkenaan dengan isi pesan komunikasi. Komunikasi itu sendiri, mencakup dimensi isi dan relasi sekaligus. Dimenasi relasi di dalam komunikasi lebih berhubungan dengan segi-segi etis dan estetis, bagaimana cara pesan dikemas dan disampaikan. Etika dalam konteks komunikasi dimaksudkan sebagai usaha manusia mempergunakan kapasitas kognitifnya untuk memperoleh pertimbangan tentang kepatutan situasional (Habermas, edited by Cooke, 1998: 429).
Memahami pengalaman kritik realitas sosial manusia haruslah mencakup dan menjangkau latar belakang alam kehidupan tersebut sambil pada saat bersamaan melalui refleksi transgresif masuk ke latar depannya.
Pengalaman suatu kehidupan dan konteks pragmatik dari penjelasan tentangnya (yang dialami manusia:penulis) terbentuk atau kita peroleh melalui keterlibatan kita dengan sesuatu itu dan kejadian-kejadian (terkait:penulis); kehidupan kesetiakawanan dan makna dalam konteks historisnya kita peroleh melalui keterlibatan interaktif dengan orang-orang yang kita pergauli, …
Secara ontogenetik , dunia empirik yang kita berurusan dengan keadaan luarnya secara teknis-praktis hanya berjarak sangat tipis dari kehidupan di mana kita berurusan dengan orang lain di dalam masyarakat secara moral. Akhirnya, pengalaman-pengalaman dengan keadaan bathin kita, dengan badan kita, dengan kebutuhan kita, dan dengan perasaan kita, merupakan sesuatu yang tidak secara langsung (kita alami:penulis); Kesemua itu memantul pada pengalaman kehidupan eksternal kita. Manakala pengalaman-pengalaman batin kita kemudian memperoleh kebebasan semacam pengalaman estetik, maka karya seni otonom yang tercipta melibatkan peranan objek (benda-benda) yang telah membuka mata kita, yang mendorong atau menimbulkan cara baru melihat sesuatu, sikap baru terhadap sesuatu, dan moda perilaku baru terhadap sesuatu (Habermas, edited by Cooke, 1998:245-246).
Habermas dengan paparannya tersebut hendak menyatakan bahwa pengalaman estetik bukanlah hasil dari bentuk-bentuk tindakan kehidupan sehari-hari yang didasarkan pada kecakapan kognitif-instrumental dan gagasan-gagasan moral. Hal ini dikarenakan kita tumbuh dan berkembang di dalam proses pembelajaran kehidupan bathin, namun pada saat bersamaan kita terikat dengan fungsi-fungsi bahasa sebagai pembentuk dan penguak dunia kehidupan. Manakala pengalaman itu dapat diberualngkan untuk menghasilkan kesan menyenangkan, memuaskan, aman, nyaman, dan bahagia yang mampu menimbulkan efek terharu dan terpesona, maka ia telah menjadi sebuah pengalaman estetika (AAM Djelantik, 1999:2). Kesan mengharukan dan mempesona ini merupakan aspek pentig dari kemasan pesan di dalam sebuah transaksi komunikatif. Semakin mempesona kemasan pesan, semakin menarik lawan komunikasi kita.
1.    Logika Konstruktif
Logika di dalam konteks konstruksi realitas dalam bagian ini dimaksudkan untuk menunjuk segala langkah prosesual konstruksional yang melibatkan penalaran logis untuk tujuan tercapainya kesesuaian, ketepatan dan keakuratan pengkonstruksian realitas. Konstruksi realitas yang logis akan tercermin pada tidak adanya kesenjangan apalagi perbedaan antara konstruksi realitas dengan realitas yang diwakilinya (Sumarsono, 2004:9). Oleh karena penggunaan logika dimaksudkan untuk mencapai kepastian (exactness) dari setiap simpulan pemikiran dan penalarannya, maka konstruksi yang diawali dengan penalaran seperti ini akan dapat dikategorikan sebagai konstruksi yang logis.
Permasalahannya kemudian adalah bahwa setiap moda berpikir mempunyai rumusan logikanya masing-masing. Sebagian filosof misalnya lebih menyukai cara-cara berpikir kontingensial, sebagian lainnya mungkin memilih mempergunakan model penalaran sentensial, elementer, dan bahakan silogistis. Kesemua moda penalaran di dalam pemikiran mereka itu pun dengan demikian akan memiliki model dan kerangka logikanya masing-masing. Hal ini sesuai dengan pandangan kritis tentang realitas bahwa, manusia hanya mampu mengkonstruksi realitas dari sudut pandangnya masing-masing. Hal ini misalnya dikemukakan Lyotard bahwa mata manusia tidak sanggup menguasai dunia, dan pandangan mata manusia selalu bersifat parsial (Cavallaro, terjemahan Laily Rahmawati, 2001:76).
2. Logika Kontingensial
Makna yang logis dari suatu konstruksi realitas sosial harus secara internal menyatu di dalam realitas terkonstruksi itu sendiri.
Integrasi logika ini diakui (kebenarannya:penulis) bukan saja pada interrelasi elemen-elemen kultural yang tertentu saja yang kita temui di dalam bentuk proposisi verbal, seperti pernyataan tertulis, akan tetapi berlaku untuk elemen-elemen kultural nonverbal seperti halnya acara-acara dan musik, dan juga bahkan berlaku untuk relasi antar elemen kultural dari kelas-kelas yang berbeda-beda seperti sebuah organisasi keluarga spesifik, sebuah gaya budaya/kebudayaan, type kepribadian spesifik, dan aturan dan ketentuan hukum legal tertentu (Barnes, 1948:896-897).
Pitirim Alexandrovitch Sorokin dengan pernyataan ini hendak menunjukkan bahwa, meski tidak seperti integrasi-kausal-fungsional di dalam mana seluruh bagian fungsional dari setiap elemen konstruksi realitas sosiokultural saling berpautan dan saling bergantung satu sama lain, tetapi logika dan makna yang logis sebagai elemen konstruksi suatu realitas sosiokultural harus melekat secara internal di dalam realitas yang secara konstruktif diwakilinya itu. Pernyataan ini megandung dan mengarah pada pengertian bahwa, logika yang kokoh adalah prasyarat kontingensial untuk tercapainya penciptaan makna yang tepat dan akurat. Logika yang kokoh tidak terpisahkan oleh kesenjangan antaranya dengan realitas yang ditunjuk untuk dimaknai dan dengan penanda pemaknaan realitas yang dimaksud. Saling ketergantungan adanya antara logika, kemasan logika (bahasa sebagai sistem tanda), dan realitas yang sesungguhnya ada menjadi bersifat kontingensial. Keberfungian elemen kontingensial yang satu mensyaratkan keberadaan dan kehadiran elemen kontingensial yang lain.
Contoh paling sederhana, di dalam budaya Indonesia dikenal pernyataan “tidak akan ada asap kalau tidak ada api.” Pernyataan ini menunjukkan bahwa realitas bernama asap itu hanya akan muncul jika kondisi kontingensial (yang dipersyaratkan) yaitu api terlebih dahulu ada.
3. Logika Sentensial
Logika sentensial membatasi dirinya untuk membahas kalimat-kalimat sederhana yang tertentu, yang tidak terurai secara keselurhan, menggabungkannya dengan kalimat penghubung yang menjadikannya kalimat-kalmat gabungan. Kalimat gabungan itu hanya dipergunakan sebagai alasan, yang validitas dan invaliditasnya sepenuhnya bergantung pada bentuk atau cara bagaimana kalimat-kalimat sederhana itu digabungkan.
Contoh logika sentensial paling sederhana adalah, jika kalmatnya adalah :
• Bapak pergi ke Jakarta atau ke Surabaya
• Bapak tidak pergi ke Jakarta
• Simpulan yang benar adalah : Bapak pergi ke Surabaya.
Kalimat-kalimat penghubung pada penggabungan dua kalimat di dalam logika sentensial adalah: dan, atau, bukan, jika-maka, jika dan hanya jika(Edwards, editor, 1972:14).
4. Logika Silogisme
Silogisme kategoris merupakan sebuah penafsiran atas satu proposisi kategoris sebagai simpulan atas dua proposisi yang lainnya yang merupakan premis-premis. Pada masing-masing premis memiliki satu istilah yang juga ada pada proposisi kesimpulan dan ada pada proposisi premis lainnya.
Contoh paling sederhana:
• Setiap binatang akan mati (Premis major)
• Semua manusia adalah binatang (Premis minor)
• Oleh karenanya, semua manusia akan mati (Simpulan)


TIGA TEORI KEBENARAN (KONSISTEN, KORESPONDEN, PRAGMATIS)

A.      Kebenaran Konsisten
Konsisten merupakan pengaturan secara rapi kenyataan dan gagasan, fakta, dan ide menjadi suatu untaian yang logis sehingga mudah memahami pesan yang dihubungkannya.
Teori kebenaran Konsisten ini digunakan sebagai sebuah pesan / penarik kepada umum supaya perhatiannya tertuju pada satu titik atau dengar arti lain, teori kebenaran konsisten merupakan teori kebenaran yang didasarkan kepada kriteria koheren atau konsistensi. Suatu pernyataan disebut benar bila sesuai dengan jaringan komprehensif dari pernyataan-pernyataan yang berhubungan secara logis. Pernyataan-pernyataan ini mengikuti atau membawa kepada pernyataan yang lain.
Seorang sarjana Barat A.C Ewing (1951:62) menulis tentang teori koherensi, ia mengatakan bahwa koherensi yang sempurna merupakan suatu ideal yang tak dapat dicapai, akan tetapi pendapat-pendapat dapat dipertimbangkan menurut jaraknya dari ideal tersebut. Sebagaimana pendekatan dalam aritmatik, dimana pernyataan-pernyataan terjalin sangat teratur sehingga tiap pernyataan timbul dengan sendirinya dari pernyataan tanpa berkontradiksi dengan pernyataan-pernyataan lainnya. Jika kita menganggap bahwa 2+2=5, maka tanpa melakukan kesalahan lebih lanjut, dapat ditarik kesimpulan yang menyalahi tiap kebenaran aritmatik tentang angka apa saja.
Teori ini punya banyak kelemahan dan mulai ditinggalkan. Misalnya, astrologi mempunyai sistem yang sangat koheren, tetapi kita tidak menganggap astrologi benar. Kebenaran tidak hanya terbentuk oleh hubungan antara fakta atau realitas saja, tetapi juga hubungan antara pernyataan-pernyataan itu sendiri. Dengan kata lain, suatu pernyataan adalah benar apabila konsisten dengan pernyataan-pernyataan yang terlebih dahulu kita terima dan kita ketahui kebenarannya.
Dua masalah yang didapatkan dari teori konsisten adalah:
a.    Pernyataan yang tidak koheren (melekat satu sama lain) secara otomatis tidak tergolong kepada suatu kebenaran, namun pernyataan yang koheren juga tidak otomatis tergolong kepada suatu kebenaran. Misalnya saja diantara pernyataan “anakku mengacak-acak pekerjaanku” dan “anjingku mengacak-acak pekerjaanku” adalah sesuatu yang sulit untuk diputuskan mana yang merupakan kebenaran, jika hanya dipertimbangkan dari teori koherensi saja. Misalnya lagi, seseorang yang berkata, “ Sundel Bolong telah mengacak-acak pekerjaan saya!”, akan dianggap salah oleh saya karena tidak konsisten dengan kepercayaan saya.
b.    Sama halnya dalam mengecek apakah setiap pernyataan berhubungan dengan realitasnya, kita juga tidak akan mampu mengecek apakah ada koherensi diantara semua pernyataan yang benar.
Dua masalah ini lahir karena adanya pertentangan keyakinan, moral maupun ketidak sanggupan untuk mengecek sebuah pernyataan yang sudah dilontarkan dengan keadaan lapangan atau hal yang dialami sehingga tingkat konsistensinya rendah bahkan berat untuk dipertanggungjawabkan.
B.       Kebenaran Koresponden 
Teori Korespondensi (The Correspondence Theory of Thruth) adalah teori yang berpandangan bahwa pernyataan-pernyataan adalah benar jika berkorespondensi terhadap fakta atau pernyataan yang ada di alam atau objek yang dituju pernyataan tersebut. Kebenaran atau suatu keadaan dikatakan benar jika ada kesesuaian antara arti yang dimaksud oleh suatu pendapat dengan fakta. Kebenaran ini seutuhya berpangkal dari keadaan/kenyataan alam yang ada yang dapat dibuktikan secara inderawi oleh responden.
Teori kebenaran korespondensi adalah teori kebenaran yang paling awal, sehingga dapat digolongkan ke dalam teori kebenaran tradisional karena sejak awal (sebelum abad Modern) mensyaratkan kebenaran pengetahuan harus sesuai dengan kenyataan yang diketahuinya. Hal ini dapat diartikan bahwa teori yang diterapkan atau dikemukakan tidak boleh bersimpangan/bersebrangan dengan kenyataan yang menjadi objek.
Dalam teori kebenaran korespondensi tidak berlaku pada objek/bidang non-empiris atau objek yang tidak dapat diinderai. Kebenaran dalam ilmu adalah kebenaran yang sifatnya objektif, ia harus didukung oleh fakta-fakta yang berupa kenyataan dalam pembentukan objektivanya. Kebenaran yang benar-benar lepas dari kenyataan subjek.
Dalam teori ini terdapat tiga kesukaran dalam menentukan kebenaran yang disebabkan karena :
a.    Teori korespondensi memberikan gambaran yang menyesatkan dan yang terlalu sederhana mengenai bagaimana kita menentukan suatu kebenaran atau kekeliruan dari suatu pernyataan. Bahkan seseorang dapat menolak pernyataan sebagai sesuatu yang benar didasarkan dari suatu latar belakang kepercayaannya masing-masing.
b.    Teori korespondensi bekerja dengan idea, “bahwa dalam mengukur suatu kebenaran kita harus melihat setiap pernyataan satu-per-satu, apakah pernyataan tersebut berhubungan dengan realitasnya atau tidak. ” Lalu bagaimana jika kita tidak mengetahui realitasnya? Bagaimanapun hal itu sulit untuk dilakukan.
c.    Kelemahan teori kebenaran korespondensi ialah munculnya kekhilafan karena kurang cermatnya penginderaan, atau indera tidak normal lagi sehingga apa yang dijadikan sebagai sebuah kebenaran tidak sesuai dengan apa yang ada di alam.
Sebuah ketelitian dan kesigapan dalam menentukan sebuah kebenaran dalam menentukan teori kebenaran koresponensi sangat diutamakan sebab untuk menghindari kesalahan yang terjadi atas tiga hal tersebut. Maka faktor inderawi yang menjadi alat untuk mengungkap kenyataan alam harus dapat menyatakan yang sebenarnya, mengetahui/menguasai realitas yang ada dan cermat.
C.    Kebenaran Pragmatis
Teori pragmatisme tentang kebenaran, the pragmatic [pramatist] theory of truth. Kata Pragmatisme berasal dari bahasa Yunani yaitu pragma, artinya yang dikerjakan, yang dapat dilaksanakan, dilakukan, tindakan atau perbuatan. Falsafah ini dikembangan oleh seorang bernama William James di Amerika Serikat.
Menurut filsafat ini dinyatakan bahwa sesuatu ucapan, hukum, atau sebuah teori semata-mata bergantung kepada asas manfaat. Sesuatu dianggap benar jika mendatangkan manfaat. Suatu kebenaran atau suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan manusia.
Pragmatisme menantang segala otoritanianisme, intelektualisme dan rasionalisme. Bagi mereka ujian kebenaran adalah manfaat (utility), kemungkinan dikerjakan (workability) atau akibat yang memuaskan sehingga dapat dikatakan bahwa pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar ialah apa yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan perantaraan akibat-akibatnya yang bermanfaat secara praktis.
Teori ini pada dasarnya mengatakan bahwa suatu proposisi benar dilihat dari realisasi proposisi itu. Jadi, benar-tidaknya tergantung pada konsekuensi, kebenaran suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis, sepanjang proposisi itu berlaku atau memuaskan.

Satu-satunya yang dijadikan acuan bagi kaum pragmatis ini untuk menyebut sesuatu sebagai kebenaran ialah jika sesuatu itu bermanfaat atau memuaskan. Apa yang diartikan dengan benar adalah yang berguna (useful) dan yang diartikan salah adalah yang tidak berguna (useless). Karena istilah “berguna” atau “fungsional” itu sendiri masih samar-samar, teori ini tidak mengakui adanya kebenaran yang tetap atau mutlak.

ILMU PSIKOLOGI, NILAI, DAN KESEJAHTERAAN MANUSIA

a.    Pendahuluan
Dalam sebuah eksplorasi dan penerapan hasil temuan ilmu ada pertanyaan krusial yang sering muncul tentang kedudukan ilmu dalam suatu sistem nilai yang diyakini oleh manusia dan pertanyaan-pertanyaan tentang : apakah penelitian dan penerapan ilmu sama sekali bebas nilai (value free) atau harus tidak bebas nilai (non value free)?
b.   Hubungan Ilmu, Nilai, dan Kesejahteraan Manusia
Secara spesifik, hubungan antara ilmu dan nilai dapat diilustrasikan pada prinsip-prinsip etika yang melandasi penelitian dan praktek psikologi. Tujuan ilmu adalah untuk mendeskripsikan, menjelaskan, meramalkan, dan merekayasa perilaku dan proses mental sehingga harus memperhatikan beberapa prinsip etika yang bersifat substansial.
Ilmu selalu berupaya untuk menekankan aspek objektivitas dalam setiap kegiatan ilmiah, tapi itu tidak berarti bahwa ilmu bisa menyatakan diri sebagai suatu kegiatan yang bebas nilai, namun secara khusus dan umum tujuan eksplorasi dan penerapan ilmu adalah untuk mencapai kesejahteraan manusia berdasar nilai-nilai kemanusiaan.
Dalam kasus paham materialisme didunia barat salah satu aspek kesejahteraan manusia adallah pencapaian kebahagiaan, sehingga paham materialisme yang bersifat positivistis dapat memberikan jaminan bagi kesejahteraan manusia. Akan tetapi kaum materialisme dan kapitalisme cenderung mengalami tingkat depresi yang sangat tinggi akibat tidak diiiringi oleh perkembangan moral dan kebahagiaan.  Dua teori psikologi sosial yang dapat digunakan untuk membantu menjelaskan kegagalan materialisme untuk meningkatkan kebahagiaan manusia adalah teori fenomena tingkat adaptasi dan teori perbandingan sosial.
c.    Kesimpulan

Dalam penerapan ilmu daan teknologi yang sangat materialistik didunia barat ternyata berimplikasi pada masalah pencapaian tuan kesejahteraan dan kebahagiaan hidup manusia sehingga dapat disimpulkan bahwa ilmu tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai yang diyakini oleh manusia, terutama dalam mencapai tujuan kesejahteraan, khususnya kebaahagiaan hidup manusia.

ILMU PSIKOLOGI, NILAI, DAN KESEJAHTERAAN MANUSIA

a.    Pendahuluan
Dalam sebuah eksplorasi dan penerapan hasil temuan ilmu ada pertanyaan krusial yang sering muncul tentang kedudukan ilmu dalam suatu sistem nilai yang diyakini oleh manusia dan pertanyaan-pertanyaan tentang : apakah penelitian dan penerapan ilmu sama sekali bebas nilai (value free) atau harus tidak bebas nilai (non value free)?
b.   Hubungan Ilmu, Nilai, dan Kesejahteraan Manusia
Secara spesifik, hubungan antara ilmu dan nilai dapat diilustrasikan pada prinsip-prinsip etika yang melandasi penelitian dan praktek psikologi. Tujuan ilmu adalah untuk mendeskripsikan, menjelaskan, meramalkan, dan merekayasa perilaku dan proses mental sehingga harus memperhatikan beberapa prinsip etika yang bersifat substansial.
Ilmu selalu berupaya untuk menekankan aspek objektivitas dalam setiap kegiatan ilmiah, tapi itu tidak berarti bahwa ilmu bisa menyatakan diri sebagai suatu kegiatan yang bebas nilai, namun secara khusus dan umum tujuan eksplorasi dan penerapan ilmu adalah untuk mencapai kesejahteraan manusia berdasar nilai-nilai kemanusiaan.
Dalam kasus paham materialisme didunia barat salah satu aspek kesejahteraan manusia adallah pencapaian kebahagiaan, sehingga paham materialisme yang bersifat positivistis dapat memberikan jaminan bagi kesejahteraan manusia. Akan tetapi kaum materialisme dan kapitalisme cenderung mengalami tingkat depresi yang sangat tinggi akibat tidak diiiringi oleh perkembangan moral dan kebahagiaan.  Dua teori psikologi sosial yang dapat digunakan untuk membantu menjelaskan kegagalan materialisme untuk meningkatkan kebahagiaan manusia adalah teori fenomena tingkat adaptasi dan teori perbandingan sosial.
c.    Kesimpulan

Dalam penerapan ilmu daan teknologi yang sangat materialistik didunia barat ternyata berimplikasi pada masalah pencapaian tuan kesejahteraan dan kebahagiaan hidup manusia sehingga dapat disimpulkan bahwa ilmu tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai yang diyakini oleh manusia, terutama dalam mencapai tujuan kesejahteraan, khususnya kebaahagiaan hidup manusia.

Rabu, 16 Oktober 2013

HUBUNGAN DASAR (SIFAT DASAR MANUSIA, SIFAT DASAR PESERTA DIDIDK, KONFLIK ANTARA ETIKA & ESTETIKA)

A.      Sifat Dasar Manusia
1.    Melankolis, si Sempurna
Pemikir, sensitif, romantis, teratur mempunyai rasa empati yang tinggi, tak jarang kalau ada temen yang ada masalah dialah orang pertama yang merasakanya bahkan menjadi pendengar yang baik. selain berempati, melankolis juga romantis banget. melankolis ternyata punya bakat perfeksionis harus sempurna. orang bertipe ini cenderung mempunyai rasa seni yang tinggi, suka akan gambar, grafik dll, cukup berbakat menjadi seorang seniman entah musik atau pelukis.
2.      Plegmatis, si Pencinta Damai
Plegmatis umumnya menghindari konflik, netral, bagi mereka Perdamaian itu nomor satu. Mereka juga baik hati, pribadinya tenang rendah hati dan juga penyabar, terlihat kalem. kalau digabung sama sifat diatas, keknya kerjaan yang cocok jadi diplomat aja deh. banyak dari tipe Plegmatis mempunyai daya humor yang tinggi, menyenangkan untuk diajak gaul.
3.      Sanguin, si Superstar
Sanguin tipe yang suka melucu, bercanda, dan heboh.orang dengan tipe sanguins terkenal dengan banyak omongnya, dan memiliki kemampuan komunikasi yang baik serta mengusasai pembicaraan. sanguis memiliki hasrat untuk bersenang senang yang tinggi, mereka suka akan ketenaran, perhatian, kasih sayang, dan dukungan dari orang lain.negatifnya, orang tipe sanguins umumnya berfikiran pendek, sulit berkonsentrasi dan tidak teratur. mereka dapat stres jika terjebak dalam situasi yang mana hidupnya terasa tidak menyenangkan karna orang sanguis takut untuk tidak populer. 
4.      Koleris, si Kuat
Orang tipe ini biasanya suka mengatur dan memerintah orang, dia nggak mau ada orang berdiam diri saja sementara dia sibuk kerja/beraktivitas. orang korelis suka akan tantangan, sang suka berpetualang, mereka juga tegas. tak heran banyak dari usahanya yang sukses karna memang sifatnya yang juga pantang menyerah dan juga pantang mengalah. sisi negatifnya, mereka orang yang tidak sabaran, segalanya harus cepat karna memang sifat keproduktivitasnya yang tinggi. mereka juga gampang sekali marah, dan suka berprilaku kasar. mereka juga suka akan kontoversi dan pertengkaran, dan susah meminta maaf.

B.       Sifat Dasar Peserta Didik
Sifat dasar peserta didik tidak terlepas dari tipe kepribadian yang dimiliki, begitu banyak tipe kepribadian menurut para ilmuwan. Berikut ini adalah tipe-tpe kepibadian menurut masing-masing para ahli agar kita lebih memahami kepribadian peserta didik sehingga saat proses kegiatan belajar dan mengajar berlangsung dengan maksimal.
Ø Eysenck 1964 (dalam Buchori 1982) membagi 3 tipe kepribadian :
·       Kepribadian Ekstrovert: dicirikan dengan sifat sosiabilitas, bersahabat, menikmati kegembiraan, aktif bicara, impulsif, menyenangkan spontan, ramah, sering ambil bagian dalam aktivitas sosial.
·       Kepribadian Introvert: dicirikan dengan sifat pemalu, suka menyendiri, mempunyai kontrol diri yang baik.
·       Kepribadian Neurosis: dicirikan dengan pencemas, pemurung, tegang, bahkan kadang-kadang disertai dengan simptom fisik seperti keringat, pucat, dan gugup.
Ø Mahmud 1990 (dalam Suadianto 2009) membagi menjadi 12 kepribadian :
·       Mudah menyesuaikan diri, baik hati, ramah, hangat VS dingin.
·       Bebas, cerdas, dapat dipercaya VS bodoh, tidak sungguh-sungguh, tidak kreatif.
·       Emosi stabil, realistis, gigih VS emosi mudah berubah, suka menghindar (evasive), neurotik.
·       Dominat, menonjolkan diri VS suka mengalah, menyerah.
·       Riang, tenang, mudah bergaul, banyak bicara VS mudah berkobar, tertekan, menyendiri, sedih.
·       Sensitif, simpatik, lembut hati VS keras hati, kaku, tidak emosional.
·       Berbudaya, estetik VS kasar, tidak berbudaya.
·       Berhati-hati, tahan menderita, bertanggung jawab VS emosional, tergantung, impulsif, tidak bertanggung jawab.
·       Petualang, bebas, baik hati VS hati-hati, pendiam, menarik diri.
·       Penuh energi, tekun, cepat, bersemangat VS pelamun, lamban, malas, mudah lelah.
·       Tenang, toleran VS tidak tenang, mudah tersinggung.
·       Ramah, dapat dipercaya VS curiga, bermusuhan.



C.      Etika dan Estetika
1.                            Etika
Etika dalam bahasa Yunani, etos artinya kebiasaan, habit atau custom. Maksudnya hampir tidak ada orang yang tidak memiliki kebiasaan baik atau buruk. Oleh karena itu istilah etis dan tidak etis dinilai kurang tepat. Adapun istilah yang lebih tepat adalah etika baik dan etika jahat.
Etika adalah bagian filsafat nilai dan penilaian yang membicarakan perilaku seseorang dari sudut baik dan jahat. Semua perilaku mempunyai nilai, jadi tidak benar suatu perilaku dikatakan tidak etis dan etis. Lebih tepatnya adalah perilaku beretika baik atau perilaku beretika tidak baik, sejalan dengan perkembangan penggunaan bahasa yang berlaku sekarang. Istilah etis dan tidak etis, tidak baik untuk hal yang sama. Demikian juga etis baik dan etis tidak baik. Dalam hal perilaku digunakan istilah baik dan jahat untuk etika karena perbuatan manusia yang tidak baik berarti merusak sedangkan perbuatan yang baik berarti membangun.
Ø Etika (Nilai), terdiri dari:
o  Hedodisme, sesuatu dianggap baik apabila mengandung kenikmatan, kepuasan bagi manusia.
o  Vitalisme, baik buruk ditentukan oleh ada atau tidaknya kekuatan hidup yang dikandung oleh objek yang di nilai.
o  Pragmatisme, yang baik adalah berguna dalam kehidupan praktis..
o  Utilitarianisme (Kemanfaatan), terbagi dua yaitu pribadi dan kelompok.


2.    Estetika
Estetika adalah bagian filsafat tentang nilai dan penilaian yang memandang karya manusia dari sudut indah dan jelek. Secara umum estetika disebut sebagai kajian filsafati mengenai pengindraan atau persepsi yang menimbulkan rasa senang dan nyaman pada suatu pihak, rasa tidak senang dan tidak nyaman pada pihak lainnya. Hal ini mengisyaratkan bahwa ada baiknya bagi kita untuk menghargai pepatah “De gustibus non disputdum” yang artinya meskipun tidak mutlak, tidak untuk segala hal. Tokoh paling terkenal dalam bidang ini adalah Alexander Baumgarten (1714-1762) dalam disertasinya pada 1735 yang justru dianggap awal diwacanakannya estetika.
Ø Estetika (keindahan), terdiri dari:
o  Plato (keindahan) “realitas, abadi” terdapat unsur metafisik keindahan suatu objek bukan berasal dari objek itu; keindahan itu menyertai objek itu.
o  Plotinus, Keindahan adalah pancaran akal Illahi.
o  Kant, indah itu sifat objek.
o  Aljisr, nilai berada pada objek.

D.      Kesimpulan
Dalam proses pembelajaran didunia pendidikan, selain sifat dasar yang dimiliki oleh seorang guru dalam mendidik harus memahami tipe kepribadian peserta didiknya dengan memperhatikan norma etika dan estetika dalam situasi dan kondisi yang berlaku dilingkungan tersebut.