DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL,
Menimbang :
a. bahwa peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, sosial,
dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa perlu mendapatkan
layanan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan dan hak asasinya;
b. bahwa pendidikan khusus untuk peserta didik yang memiliki kelainan dan/atau
peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa dapat
diselenggarakan secara inklusif;
c. Bahwa berdasarkan prtimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b,
perlu menetapkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional tentang Pendidikan Inklusif
bagi peserta didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau
Bakat Istimewa;
Mengingat:
1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4301);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 41, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4496):
3. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang pembagian urusan
Pemerintahan antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah
Kabupaten/Kota.
4. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi,
Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Republik
Indonesia Nomor 94 Tahun 2008;
5. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 187/M Tahun 2004 mengenai
Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 77/P Tahun 2007;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
TENTANG PENDIDIKAN INKLUSIF (Pensif) BAGI PESERTA DIDIK YANG
MEMILIKI KELAINAN DAN MEMILIKI POTENSI KECERDASAN DAN/ATAU
BAKAT ISTIMEWA
Pasal 1
Dalam Peraturan ini, yang dimaksud dengan pendidikan inklusif adalah sistem
penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta
didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat
istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam satu lingkungan
pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya.
Pasal 2
Pendidikan inklusif bertujuan :
(1) memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua peserta didik yang
memiliki kelainan fisik, emosional, mental, dan sosial atau memiliki potensi
kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk memperoleh pendidikan yang bermutu
sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya;
(2) mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang menghargai keanekaragaman, dan
tidak diskriminatif bagi semua peserta didik sebagaimana yang dimaksud pada huruf
a.
Pasal 3
(1) Setiap peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, dan sosial
atau memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa berhak mengikuti
pendidikan secara inklusif pada satuan pendidikan tertentu sesuai dengan kebutuhan
dan kemampuannya.
(2) Peserta didik yang memiliki kelainan sebagaimana dimaksud dalam ayat (10
terdiri atas:
a. tunanetra;
b. tunarungu;
c. tunawicara;
d. tunagrahita;
e. tunadaksa;
f. tunalaras;
g. berkesulitan belajar;
h. lamban belajar;
i. autis;
j. memiliki gangguan motorik;
k. menjadi korban penyalahgunaan narkoba, obat terlarang, dan zat adiktif lainnya;
l. memiliki kelainan lainnya;
m. tunaganda
Pasal 4
(1) Pemerintah kabupaten/kota menunjuk paling sedikit 1 (satu) sekolah asar, dan 1
(satu) sekolah menengah pertama pada setiap kecamatandan 1 (satu) satuan
pendidikan menengah untuk menyelenggarakan pendidikan inklusif yang wajib
menerima peserta didik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1).
(2) Satuan pendidikan selain yang ditunjuk oleh kabupaten/kota dapat menerima
peserta didik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1).
Pasal 5
(1) Penerimaan peserta didik berkelainan dan/atau peserta didik yang memiliki
potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa pada satuan pendidikan
mempertimbangkan sumber daya yang dimiliki sekolah.
(2) Satuan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) mengalokasikan
kursi peserta didik yang memiliki kelainan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat
(1) paling sedikit 1 (satu) peserta didik dalam 1 (satu) rombongan belajar yang akan
diterima.
(3) Apabila dalam waktu yang telah ditentukan, alokasi peserta didik sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) tidak dapat terpenuhi, satuan pendidikan dapat menerima
peserta didik normal.
Pasal 6
(1) Pemerintah kabupaten/kota menjamin terselenggaranya pendidikan inklusif sesuai
dengan kebutuhan peserta didik.
(2) Pemerintah kabupaten/kota menjamin tersedianya sumber daya pendidikan
inklusif pada satuan pendidikan yang ditunjuk.
(3) Pemerintah dan pemerintah provinsi membantu tersedianya sumber daya
pendidikan inklusif.
Pasal 7
Satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif menggunakan kurikulum
tingkat satuan pendidikan yang mengakomodasi kebutuhan dan kemampuan peserta
didik sesuai dengan bakat, minat, dan minatnya.
Pasal 8
Pembelajaran pada pendidikan inklusif mempertimbangkan prinsip-prinsip
pembelajaran yang disesuikan dengan karakteristik belajar peserta didik.
Pasal 9
(1) Penilaian hasil belajar bagi peserta didik pendidikan inklusif mengacu pada jenis
kurikulum tingkat satuan pendidikan yang bersangkutan.
(2) Peserta didik yang mengikuti pembelajaran berasarkan kurikulum yang
dikembangkan sesuai dengan standar nasional pendidikan atau di atas standar nasional
pendidikan wajib mengikuti ujian nasional.
(3) Peserta didik yang memiliki kelainan dan mengikuti pembelajaran berdasarkan
kurikulum yang dikembangkan di bawah standar pendidikan mengikuti ujian yang
diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang bersangkutan.
(4) Peserta didik yang menyelesaikan dan lulus ujian sesuai dengan standar nasional
pendidikan mendapatkan ijazah yang blankonya dikeluarkan oleh Pemerintah.
(5) Peserta didik yang memiliki kelainan yang menyelesaikan pendidikan berasarkan
kurikulum yang dikembangkan oleh satuan pendidikan di bawah standar nasional
pendidikan mendapatkan surat tanda tamat belajar yang blankonya dikeluarkan oleh
satuan pendidikan yang bersangkutan.
(6) Peserta didik yang memperoleh surat tanda tamat belajar dapat melanjutkan
pendidikan pada tingkat atau jenjang yang lebih tinggi pada satuan pendidikan yang
menyelenggarakan pendidikan inklusif atau satuan pendidikan khusus.
Pasal 10
(1) Pemerintah kabupaten/kota wajib menyediakan paling sedikit 1 (satu) orang guru
pembimbing khusus pada satuan pendidikan yang ditunjuk untuk menyelenggarakan
pendidikan inklusif.
(2) Satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif yang tidak ditunjuk oleh
pemerintah kabupaten/kota wajib menyediakan paling sedikit 1 (satu) orang guru
pembimbing khusus.
(3) Pemerintah kabupaten/kota wajib meningkatkan kompetensi di bidang pendidikan
khusus bagi pendidik dan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan penyelenggara
pendidikan inklusif.
(4) Pemerintah dan pemerintah provinsi membantu dan menyediakan tenaga
pembimbing khusus bagi satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif yang
memerlukan sesuai dengan kewenangannya.
(5) Pemerintah dan pemerintah provinsi membantu meningkatkan kompetensi di
bidang pendidikan khusus bagi pendidik dan tenaga kependidikan pada satuan
pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif.
(6) Peningkatan kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (5) dpat
dilakukan melalui:
a. pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan
(P4TK);
b. lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP);
c. perguruan tinggi (PT)
d. lembaga pendidikan dan pelatihan lainnya di lingkungan pemerintah daerah,
Departemen Pendidikan Nasional dan/atau Departemen agama;
e. Kelompok Kerja Guru/Kepala Sekolah (KKG, KKS), Kelompok Kerja Pengawas
Sekolah (KKPS), MGMP, MKS, MPS dan sejenisnya.
Pasal 11
(1) Satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif berhak memperolah bantuan
profesional sesuai dengan kebutuhan dari pemerintah kabupaten/kota.
(2) Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat dapat memberikan bantuan
profesional kepada satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif.
(3) Bantuan profesional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan melalui
kelompok kerja pendidikan inklusif, kelompok kerja organisasi profesi, lembaga
swadaya masyarakat, dan lembaga mitra terkait, baik dari dalam negeri maupun luar
negeri.
(4) Jenis dukungan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat berupa:
a. bantuan profesional perencanaan, pelaksanaan, monitoring, dan evaluasi;
b. bantuan profesional dalam penerimaan, identifikasi dan asesmen, prevensi,
intervensi, kompensatoris dan layanan advokasi peserta didik.
c. bantuan profesional dalam melakukan modifikasi kurikulum, program pendidikan
individual, pembelajaran, penilaian, media, dan sumber belajar serta sarana dan
prasarana yang asesibel.
(5) Satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif dapat bekerjasama dan
membangun jaringan dengan satuan pendidikan khusus, perguruan tinggi, organisasi
profesi, lembaga rehabilitasi, rumahsakit dan pusat kesehatan masyarakat, klinik
terapi, dunia usaha, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan masyarakat.
Pasal 12
Pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota melakukan
pembinaan dan pengawasan pendidikan inklusif sesuai dengan kewenangannya.
Pasal 13
Pemerintah memberikan penghargaan kepada pendidik dan tenaga kependidikan pada
satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif, satuan pendidikan
penyelenggara pendidikan inklusif, dan/atau pemerintah daerah yang secara nyata
memiliki komitmen tinggi dan berprestasi dalam penyelenggaraan pendidikan
inklusif.
Pasal 14
Satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif yang terbukti melanggar
ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ini diberikan sanksi
administratif sesuai dengan ketentuan dan peraturan perundang-undangan.
Pasal 15
Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 5 Oktober 2009
MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL
TTD
BAMBANG SUDIBYO
MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL,
Menimbang :
a. bahwa peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, sosial,
dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa perlu mendapatkan
layanan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan dan hak asasinya;
b. bahwa pendidikan khusus untuk peserta didik yang memiliki kelainan dan/atau
peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa dapat
diselenggarakan secara inklusif;
c. Bahwa berdasarkan prtimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b,
perlu menetapkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional tentang Pendidikan Inklusif
bagi peserta didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau
Bakat Istimewa;
Mengingat:
1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4301);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 41, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4496):
3. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang pembagian urusan
Pemerintahan antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah
Kabupaten/Kota.
4. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi,
Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Republik
Indonesia Nomor 94 Tahun 2008;
5. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 187/M Tahun 2004 mengenai
Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 77/P Tahun 2007;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
TENTANG PENDIDIKAN INKLUSIF (Pensif) BAGI PESERTA DIDIK YANG
MEMILIKI KELAINAN DAN MEMILIKI POTENSI KECERDASAN DAN/ATAU
BAKAT ISTIMEWA
Pasal 1
Dalam Peraturan ini, yang dimaksud dengan pendidikan inklusif adalah sistem
penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta
didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat
istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam satu lingkungan
pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya.
Pasal 2
Pendidikan inklusif bertujuan :
(1) memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua peserta didik yang
memiliki kelainan fisik, emosional, mental, dan sosial atau memiliki potensi
kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk memperoleh pendidikan yang bermutu
sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya;
(2) mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang menghargai keanekaragaman, dan
tidak diskriminatif bagi semua peserta didik sebagaimana yang dimaksud pada huruf
a.
Pasal 3
(1) Setiap peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, dan sosial
atau memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa berhak mengikuti
pendidikan secara inklusif pada satuan pendidikan tertentu sesuai dengan kebutuhan
dan kemampuannya.
(2) Peserta didik yang memiliki kelainan sebagaimana dimaksud dalam ayat (10
terdiri atas:
a. tunanetra;
b. tunarungu;
c. tunawicara;
d. tunagrahita;
e. tunadaksa;
f. tunalaras;
g. berkesulitan belajar;
h. lamban belajar;
i. autis;
j. memiliki gangguan motorik;
k. menjadi korban penyalahgunaan narkoba, obat terlarang, dan zat adiktif lainnya;
l. memiliki kelainan lainnya;
m. tunaganda
Pasal 4
(1) Pemerintah kabupaten/kota menunjuk paling sedikit 1 (satu) sekolah asar, dan 1
(satu) sekolah menengah pertama pada setiap kecamatandan 1 (satu) satuan
pendidikan menengah untuk menyelenggarakan pendidikan inklusif yang wajib
menerima peserta didik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1).
(2) Satuan pendidikan selain yang ditunjuk oleh kabupaten/kota dapat menerima
peserta didik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1).
Pasal 5
(1) Penerimaan peserta didik berkelainan dan/atau peserta didik yang memiliki
potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa pada satuan pendidikan
mempertimbangkan sumber daya yang dimiliki sekolah.
(2) Satuan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) mengalokasikan
kursi peserta didik yang memiliki kelainan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat
(1) paling sedikit 1 (satu) peserta didik dalam 1 (satu) rombongan belajar yang akan
diterima.
(3) Apabila dalam waktu yang telah ditentukan, alokasi peserta didik sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) tidak dapat terpenuhi, satuan pendidikan dapat menerima
peserta didik normal.
Pasal 6
(1) Pemerintah kabupaten/kota menjamin terselenggaranya pendidikan inklusif sesuai
dengan kebutuhan peserta didik.
(2) Pemerintah kabupaten/kota menjamin tersedianya sumber daya pendidikan
inklusif pada satuan pendidikan yang ditunjuk.
(3) Pemerintah dan pemerintah provinsi membantu tersedianya sumber daya
pendidikan inklusif.
Pasal 7
Satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif menggunakan kurikulum
tingkat satuan pendidikan yang mengakomodasi kebutuhan dan kemampuan peserta
didik sesuai dengan bakat, minat, dan minatnya.
Pasal 8
Pembelajaran pada pendidikan inklusif mempertimbangkan prinsip-prinsip
pembelajaran yang disesuikan dengan karakteristik belajar peserta didik.
Pasal 9
(1) Penilaian hasil belajar bagi peserta didik pendidikan inklusif mengacu pada jenis
kurikulum tingkat satuan pendidikan yang bersangkutan.
(2) Peserta didik yang mengikuti pembelajaran berasarkan kurikulum yang
dikembangkan sesuai dengan standar nasional pendidikan atau di atas standar nasional
pendidikan wajib mengikuti ujian nasional.
(3) Peserta didik yang memiliki kelainan dan mengikuti pembelajaran berdasarkan
kurikulum yang dikembangkan di bawah standar pendidikan mengikuti ujian yang
diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang bersangkutan.
(4) Peserta didik yang menyelesaikan dan lulus ujian sesuai dengan standar nasional
pendidikan mendapatkan ijazah yang blankonya dikeluarkan oleh Pemerintah.
(5) Peserta didik yang memiliki kelainan yang menyelesaikan pendidikan berasarkan
kurikulum yang dikembangkan oleh satuan pendidikan di bawah standar nasional
pendidikan mendapatkan surat tanda tamat belajar yang blankonya dikeluarkan oleh
satuan pendidikan yang bersangkutan.
(6) Peserta didik yang memperoleh surat tanda tamat belajar dapat melanjutkan
pendidikan pada tingkat atau jenjang yang lebih tinggi pada satuan pendidikan yang
menyelenggarakan pendidikan inklusif atau satuan pendidikan khusus.
Pasal 10
(1) Pemerintah kabupaten/kota wajib menyediakan paling sedikit 1 (satu) orang guru
pembimbing khusus pada satuan pendidikan yang ditunjuk untuk menyelenggarakan
pendidikan inklusif.
(2) Satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif yang tidak ditunjuk oleh
pemerintah kabupaten/kota wajib menyediakan paling sedikit 1 (satu) orang guru
pembimbing khusus.
(3) Pemerintah kabupaten/kota wajib meningkatkan kompetensi di bidang pendidikan
khusus bagi pendidik dan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan penyelenggara
pendidikan inklusif.
(4) Pemerintah dan pemerintah provinsi membantu dan menyediakan tenaga
pembimbing khusus bagi satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif yang
memerlukan sesuai dengan kewenangannya.
(5) Pemerintah dan pemerintah provinsi membantu meningkatkan kompetensi di
bidang pendidikan khusus bagi pendidik dan tenaga kependidikan pada satuan
pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif.
(6) Peningkatan kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (5) dpat
dilakukan melalui:
a. pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan
(P4TK);
b. lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP);
c. perguruan tinggi (PT)
d. lembaga pendidikan dan pelatihan lainnya di lingkungan pemerintah daerah,
Departemen Pendidikan Nasional dan/atau Departemen agama;
e. Kelompok Kerja Guru/Kepala Sekolah (KKG, KKS), Kelompok Kerja Pengawas
Sekolah (KKPS), MGMP, MKS, MPS dan sejenisnya.
Pasal 11
(1) Satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif berhak memperolah bantuan
profesional sesuai dengan kebutuhan dari pemerintah kabupaten/kota.
(2) Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat dapat memberikan bantuan
profesional kepada satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif.
(3) Bantuan profesional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan melalui
kelompok kerja pendidikan inklusif, kelompok kerja organisasi profesi, lembaga
swadaya masyarakat, dan lembaga mitra terkait, baik dari dalam negeri maupun luar
negeri.
(4) Jenis dukungan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat berupa:
a. bantuan profesional perencanaan, pelaksanaan, monitoring, dan evaluasi;
b. bantuan profesional dalam penerimaan, identifikasi dan asesmen, prevensi,
intervensi, kompensatoris dan layanan advokasi peserta didik.
c. bantuan profesional dalam melakukan modifikasi kurikulum, program pendidikan
individual, pembelajaran, penilaian, media, dan sumber belajar serta sarana dan
prasarana yang asesibel.
(5) Satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif dapat bekerjasama dan
membangun jaringan dengan satuan pendidikan khusus, perguruan tinggi, organisasi
profesi, lembaga rehabilitasi, rumahsakit dan pusat kesehatan masyarakat, klinik
terapi, dunia usaha, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan masyarakat.
Pasal 12
Pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota melakukan
pembinaan dan pengawasan pendidikan inklusif sesuai dengan kewenangannya.
Pasal 13
Pemerintah memberikan penghargaan kepada pendidik dan tenaga kependidikan pada
satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif, satuan pendidikan
penyelenggara pendidikan inklusif, dan/atau pemerintah daerah yang secara nyata
memiliki komitmen tinggi dan berprestasi dalam penyelenggaraan pendidikan
inklusif.
Pasal 14
Satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif yang terbukti melanggar
ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ini diberikan sanksi
administratif sesuai dengan ketentuan dan peraturan perundang-undangan.
Pasal 15
Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 5 Oktober 2009
MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL
TTD
BAMBANG SUDIBYO
Tidak ada komentar:
Posting Komentar