Pada saat ini, Pendidikan Profesi Guru (PPG) sedang
menjadi perdebatan. Kebijakan Mendikbud
itu dianggap “ngawur”
oleh banyak kalangan, terutama para pemerhati bidang pendidikan, guru,
mahasiswa dan masyarakat. Tidak heran, karena dalam kebijakan tersebut,
tersurat bahwa profesi guru terbuka bagi semua lulusan program studi (prodi),
kependidikan maupun non kependidikan, asal yang bersangkutan lulus PPG. Aturan
ini dinilai sangat tidak adil bagi lulusan LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga
Kependidikan). Empat tahun proses yang mereka lalui selama
pendidikan di LPTK, seperti tidak ada artinya, karena disandingkan dengan
lulusan non-LPTK yang juga memiliki kesempatan yang sama untuk mengikuti PPG.
Baik dari lulusan LPTK maupun non-LPTK, sama-sama harus menempuh PPG selama 1
atau 2 semester (bergantung prodi PPG yang menjadi pilihanya), bila mereka
ingin menjadi guru. Diantara
persyaratan yang akan diterapkan tahun depan adalah dokumen atau ijazah
kelulusan Pendidikan Profesi Guru (PPG). "Dengan skema baru ini, untuk
menjadi guru, baik PNS maupun non-PNS tidak cukup hanya dengan ijazah S.Pd
(sarjana pendidikan, red)," tutur Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
(Mendikbud) Mohammad Nuh. Selain
itu, para sarjana FKIP ini nantinya juga bakal bersaing secara terbuka dengan
sarjana-sarjana fakultas lainnya untuk masuk PPG. Misalnya untuk menjadi guru
matematika, para sarjana FKIP ini akan bertarung dengan sarjana fakultas MIPA
(Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alama). Begitu pula untuk guru ekonomi,
sarjana FKIP juga akan bersaing dengan sarjana fakultas ekonomi (FE). Mahasiswa IKIP/LPTK tidak akan diberi
kewenangan mengajar bila tdk ikut PPG? Dan karena PPG ada kuotanya sedangkan yg
tidak tertampung harus dikemanakan? Apakah dibiarkan menganggur?? Guru
profesional merupakan guru yang dalam melaksanakan tugasnya mampu menunjukkan
kemampuannya yang ditandai dengan penguasaan kompetensi akademik kependidikan
dan kompetensi substansi dan/atau bidang studi sesuai bidang ilmunya. Calon
guru harus disiapkan menjadi guru profesional melalui pendidikan profesi guru.
Menurut Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
pendidikan profesi adalah pendidikan tinggi setelah program sarjana yang
mempersiapkan peserta didik untuk memiliki pekerjaan dengan persyaratan
keahlian khusus. Sesuai pasal 1 ayat 2
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 8 Tahun 2009 tentang
Pendidikan Profesi Guru disebutkan bahwa program Pendidikan Profesi Guru
Prajabatan (PPG Prajab) adalah program pendidikan yang diselenggarakan untuk
mempersiapkan lulusan S-1 kependidikan dan S-1/D-IV nonkependidikan yang
memiliki bakat dan minat menjadi guru agar menguasai kompetensi guru secara
utuh sesuai dengan standar nasional pendidikan, sehingga dapat memperoleh
sertifikat pendidik profesional pada pendidikan anak usia dini, pendidikan
dasar, dan pendidikan menengah. Kalau
memang seperti itu Dikti juga harus fair untuk membuat rekomendasi agar
industri/perusahaan tidak membeda2kan alumni LPTK dan alumni PT umum dengan
melakukan koordinasi lintas sektoral. "Sekarang apakah ada
perbedaan antara matematika UPI (mewakili FKIP, red) dengan ITB (mewakili
FMIPA, red)," terang Nuh. Dia mengatakan, posisi guru memang idealnya
dihuni para sarjana FKIP. Tetapi jika kemampuan sarjana FKIP jauh di bawah
sarjana fakultas lainnya, tentu tidak bisa dipaksakan mengajar. UU
mengemanahkan PPG sebagai program evaluasi dan peningkatan kualitas tenaga
kependidikan. Beda kasusnya jika PPG dijadikan sebagai peningkatan mutu guru.
Dari proses dan kurikulumnya, PPG didesain untuk meningkatkan kompetensi guru.
Ini artinya PPG merupakan lembaga untuk meningkatkan kompetensi guru. bukan
kompetensi calon guru. Pada
saat ini, Dikti juga meluncurkan program yang lain, yaitu SM-3T (Sarjana
mendidik di Daerah Terdepan, tertinggal, dan Terluar), program S1 KKT (S1
Kependidikan dengan Kewenangan Tambahan), program PPGT (Pendidikan Profesi Guru
Terintegrasi), dan beberapa program yang lain. Program yang diluncurkan
menjelang penghujung tahun. Konon, karena dana yang digunakan adalah dana
APBN-P, sehingga kepastian cairnya selalu menjelang tahun anggaran tutup. Maka
hampir semua LPTK yang ‘ketiban sampur’ untuk melaksanakan program itu
benar-benar ‘kepontal-pontal’. Hanya beberapa LPTK yang akhirnya bisa
melaksanakan PPG Daljab, dengan menarik lebih dulu biaya pendidikan dari
peserta PPG, dan biaya itu dijanjikan akan dikembalikan bila beasiswa dari
Dikti telah cair. Namun di sisi lain, kebijakan yang memungkinkan peserta PPG
bisa berasal dari sarjana nonpendidikan, seolah bertentangan dengan upaya
‘pemuliaan’ guru itu sendiri. Memang ada perbedaan persyaratan antara sarjana
pendidikan dan nonpendidikan dalam mengikuti PPG Prajab. Sarjana nonpendidikan
harus menempuh matrikulasi bidang kependidikan setelah lulus seleksi PPG,
seolah – olah untuk menjadi guru lulusan non LPTK bias dengan iseng-iseng toh
kalau lolos baru ikut martikulasi beda halnya kalau ikut martikulasi dulu baru
ikut tes masuk PPG mereka minimal sudah ada niat untuk menjadi guru. Selebihnya
sama. Kurikulum, masa pendidikan, proses pendidikan, dan sebagainya, tidak ada
perbedaan. PERTANYAANNYA: bagaimana mungkin proses panjang selama sekitar
delapan semester menempuh pendidikan dengan kultur di LPTK disejajarkan hanya
dengan paling lama satu semester kegiatan matrikulasi? Bukankah proses
membentuk kompetensi guru yang profesional sesuai amanat UU Sisdiknas nomor 20
tahun 2003 dan UU no 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen itu memerlukan waktu yang
panjang, dan oleh sebab itu sudah harus dimulai sejak awal semester dalam
delapan semester tersebut? Tidak sekedar lulus beberapa matakuliah matrikulasi
dan bisa melakukan praktek mengajar secara instan? Lantas apa gunanya
LPTK bila pada akhirnya siapa pun bisa menjadi guru, hanya dengan menempuh
pendidikan profesi selama satu atau dua semester? Dalam Naskah Akademik PPG sendiri dinyatakan, kompetensi guru merupakan
sesuatu yang utuh, sehingga proses pembentukannya tidak bisa dilakukan secara
instan, karena guru merupakan profesi yang akan menghadapi individu-individu,
yakni pribadi unik yang mempunyai potensi untuk tumbuh dan berkembang.
Tuntutan untuk menghasilkan guru yang profesional mengharuskan LPTK
penyelenggara memiliki visi yang jelas dengan dilandasi prinsip good
governance dan memiliki kapasitas yang menjamin keprofesionalan lulusannya.
Dengan demikian, kualitas input menjadi sangat penting untuk menegakkan prinsip
good governance, selain kualitas SDM, sarana prasarana, dan sebagainya.
Namun dengan kebijakan terkait dengan input PPG seperti saat ini, mungkinkah? Sumber
dari permasalahan ini adalah adanya pasal Undang-Undang
No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen yakni pasal 9 yang berbunyi “Kualifikasi akademik sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 diperoleh melalui pendidikan tinggi program sarjana atau program
diploma empat.” maka dari itu pasal tersebut harus dirubah / judicial review
di Mahkamah Konstitusi agar tidak menjadi “keran sumber” adanya lulusan
selain kependidikan yang berhak mengikuti PPG / menjadi guru.